
Hutang memang termasuk satu perkara yang berat sehingga para syahid pun dapat tercegah untuk memasuki surga hanya gara2 hutangnya. Namun demikian, Allah (swt) yang menciptakan manusia dan yang mengetahui batas2 kemampuannya, se-kali2 tidak akan memberi beban kepada seseorang lebih daripada kemampuannya. Sebagai orang yang beriman, maka keadaan ini adalah satu perkara yang mesti kita yakini sejak awal2 lagi, insya Allah.
Tidak itu saja, berkenaan dengan perkara hutang, sebenarnya Allah (swt) tidak melihat berapa banyak saudaranya atau fasilitasnya atau apa saja yang dapat menjadi jaminan bagi seseorang untuk dapat melunasi hutang, akan tetapi Allah (swt) justru memperhatikan dan memeriksa dengan sangat cermat kandungan hati dari orang yang menanggung hutang.
Siapa saja yang dengan kesungguhan hati berniat untuk melunasi hutangnya, maka Allah (swt) akan menolong hamba-Nya sedemikian rupa sehingga kelak dia dapat melunasi hutangnya. Bukan dengan cara kita, tetapi dengan cara Allah dan dengan lama masa yang ditentukan-Nya sendiri, sama saja apakah pelunasan tersebut melalui tangan kita sendiri atau lewat ahli waris kita, sebagaimana yang dikisahkan dalam hayatus sahabat Rasulullah (lihat bagaimana Abdullah bin Zubair melunasi hutang2 ayahnya).
Dan siapa saja yang tiada niat dalam hatinya untuk melunasi hutangnya, maka Allah (swt) tidak akan membantunya dan tidak pula akan membukakan jalan ke arah sana . Lebih jelek daripada itu adalah bahwa kelak di akhirat dia akan dituntut untuk membayar hutangnya sesuai dengan kuantias, kualitas dan nilai hutangnya saat dia hidup di dunia, suatu yang tidak mungkin dilakukannya. Tidak itu saja, orang2 yang berhutang yang tidak memiliki niat sama sekali untuk membayarnya, di akhirat kelak akan didakwa sebagai pencuri.
Hutang adalah satu tanda dari tanda2 miskinnya seseorang, bahkan meskipun secara dzahir dia memiliki fasilitas dan kebendaan yang banyak. Kepemilikan atas benda2 tidak otomatis menunjukkan seseorang bebas dari hutang. Bahkan banyak kenyataan pada hari ini bahwa sebagian orang malah tahu sama tahu bahwa hutang seseorang berbanding lurus dengan banyaknya benda2 yang (merasa) dimilikinya. Itu artinya bahwa semakin banyak benda, semakin banyaklah hutangnya. Dan tentu saja dia semakin miskin dilihat dari sisi yang tak dapat dipandangnya.
Memiliki hutang adalah salah satu bentuk kehinaan. Maka tidak ada cara lain untuk keluar dari kemiskinannya kecuali dengan kembali kepada janji2 Allah (swt). Dan salah satu hal yang dijanjikan Allah (swt) yang apabila seseorang memenuhinya dengan yakin akan menjadikannya seorang yang tercukupi keperluannya adalah menikah.
Firman Allah (swt), "Dan kawinkanlah orang2 yang sendirian diantara kamu, dan orang2 yang layak (berkawin) dari hamba2 sahayamu yang lelaki dan hamba2 sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui." (QS 24:32)
Atau dengan kata lain se-olah2 Allah (swt) ingin mengatakan, "Jika kamu miskin, maka Aku akan mengkayakanmu. Jika kamu kekurangan, maka Aku akan mencukupimu. Jika kamu berhutang, maka Aku akan melunasinya." Dengan syarat bahwa pernikahan tersebut se-mata2 untuk memenuhi kehendak Allah dan rasul-Nya dan untuk menyempurnakan agama pada diri kita.
Oleh karena itu, dahulukanlah menikah dan kelak kita akan mendapatkan bahwa janji Allah (swt) adalah benar. Tentu saja yang dimaksud menikah di sini adalah satu bentuk pernikahan sederhana yang sesuai dengan batas minimal syarat2 (minimum requirement) sahnya pernikahan. Dengan menikah seperti ini, dua kebaikan akan dapat kita raih sekaligus, menikah dan dapat melunasi hutang, insya Allah.
Sebaliknya, siapa saja yang mendahulukan membayar hutang apa yang belum sanggup dilakukannya, sementara menikah dengan cara sederhana dapat dilakukannya, maka umurnya akan habis dengan usahanya tersebut. Dan seandainya kelak hutangnya dapat dilunasinya, maka dia akan menjumpai bahwa dia dalam keadaan tiada berdaya untuk menikah, sama saja apakah karena lemahnya badan atau hilangnya gairah untuk mendampingi pasangannya.
Menikahlah dan kelak kita akan memahami bahwa ternyata Allah (swt) maha pengampun lagi maha penyayang. Hal itu kita ketahui dari hilangnya kebiasaan2 kita yang buruk dan jelek yang sering kita lakukan sebelum nikah. Tidak itu saja, bersamaan dengan lenyapnya kesempatan2 berbuat dosa (jika kita sendiri), Allah (swt) juga memberi kenikmatan2 yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang telah menikah. Bukan melulu hubungan suami-istri saja, tetapi juga hubungan orangtua-anak dan hubungan2 lain yang dapat terbentuk hanya melalui pernikahan. Subhanallah.
Subhan ibn Abdullah
Pattaya, 07/07/2005
*http://imanyakin.modblog.com/core.mod?show=blogview&blog_id=670627